SEJARAH SASTRA


SILABUS SEJARAH SASTRA

NO
POKOK PEMBAHASAN
SUB  POKOK PEMBAHASAN
WAKTU
1.
Pendahuluan sejarah sastra sebagai salah satu bidang ilmu sastra
a.       Tiga bidang ilmu sastra.
b.      Lingkup kajian sejarah sastra.
c.       Periodisasi sastra secara konverensional/umum.
2×TM
2.
Sastra melayu sebagai bagian dan sastra indonesia klasik
a.       Pengertian sastra melayu klasik
b.      Penggolongan sastra melayu klasik
1.      Sastra melayu klasik asli
2.      Sastra melayu pengaruh  cerita  Jawa
3.      Sastra  melayu pengaruh india.
4.      Sastra melayu pengaruh arab saudi


3.
Jender sastra melayu klasik
a.       Cerita rakyat dan pelipur lara
b.      Cerita-cerita panji
c.       Cerita yang bersumber dari ramayana. Mahabarata dan pancatantra.
d.      Cerita-cerita yang bersumber dari ajaran islam.

4.
Periodisasi sastra indonesia modern
a.       1. Versi Ayitrosidi
2. Versi Abiyasin
b.      Periodisasi sastra, periode awal periode 1933-1942
c.       Periodisasi sastra indonesia masa penjajahan jepang.

5.
Sastra indonesia periode 1942-1945
a.       Sastra indonesia masa penjajahan jepang.
b.      Sastra indonesia awal kemerdekaan.


6.
Sastra indonesia periode 1953-1961
a.       Krisis sastra indonesia
b.      Sastra indonesia menjelang dan sesudah KUDETA





BAB I
SEJARAH SASTRA SEBAGAI SALAH SATU
BIDANG ILMU SASTRA
A.                Pengertian
Sastra adalah istilah yang sangat ambigu: pada luas, ia dapat berarti setiap urutan kata-kata yang telah diawetkan untuk transmisi dalam beberapa bentuk atau lainnya (termasuk transmisi oral), lebih sempit, sering digunakan untuk menunjuk karya imajinatif seperti cerita, puisi, dan drama, lebih sempit lagi, digunakan sebagai kehormatan dan hanya berlaku untuk karya-karya yang dianggap memiliki manfaat tertentu.
Banyak ahli yang mendefenisikan pengertian sastra dapat kita lihat sebagai berikut : Fananie (2000 : 6) mengatakan bahwa “sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan kemampuan aspek keindahan yang baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna”.
Sedangkan semi ( 1984 : 8) mengatakan ”Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan semi kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahas sebagai mediumnya “.
Teeuw ( 1984 : 23) mengatakan “Kata satra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahas Sansekerta akar kata Sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk atau instruksi. Akhiran kata tra- biasanya menunjukkan alat, suasana. Maka dari sastra dapat berarti, alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi dan pengajaran; misalnya silpasastra, buku arsitektur, kemasastraan, buku petunjuk mengenai seni cerita. Awalan su- berarti baik, indah sehingga susastra dapat dibandingkan dengan berbagai belles letter”.
Kutipan di atas menyatakan, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi instruksi dan petunjuk kepada pembaca. Wellek dan Warren ( 1987 : 3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kajian kreatif, sebuah karya seni. Damono ( 1984 : 10) mengatakan bahwa lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium : bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu adalah merupakan suatu kenyataan sosial
Fananie ( 2000 : 132 ) mengatakan bahwa sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dari keseluruhan defenisi sastra di atas, adalah berdasarkan persepsi masing-masing pribadi dan sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing ahli merupakan aspek-aspek tertentu, namun yang jelas defenisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini suatu kreatifitas manusia yang mampu yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk seni sastra.
Dari beberapa batasan yang diuraikan di atas dapat disebut beberapa unsur batasan yang selalu disebut untuk unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan dan lain-lain. Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu dalam diri manusia. Bentuk diri manusia dapat diekspresikan keluar, dalam berbagai bentuk, sebab tampa bentuk tidak akan mungkin isi tadi disampaikan pada orang lain. Ciri khas penggungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi di dalam suatu bentuk yang indah.

B.  Tiga Bidang Ilmu Sastra
1. Teori sastra
Teori sastra adalah bidang ilmu sastra yang mempelajari hakikat sastra, genre sastra, stuktur sastra, gaya dalam sastra, dan aliran-aliran sastra atau teori sastra  ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, katagori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sitematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Sastra sebagai produk masyarakat suatu bangsa erat kajiannya dengan tradisi sastra, suatu masyarakat atau bangsa tempat karya sastra diciptakan. Teori sastra tidak statis, yang artinya berkembang sejalan dengan perkembangan hasil cipta sastra, baik puisi, cerpen, roman, novel, maupaun drama berkembang sejalan dengan perkembangan penciptaannya. Miasalkan puisi, dikinali sebagai bentuk bahasa yang terikat oleh jumlah larik dalam tiap bait, jumlah suku kata dalam tiap larik dan bersajakan. Hal-hal yang dipelajari dalam teori sastra sebagai barikut:

a.          Hakikat sastra
Sastra memberi kenangan dan pengalaman tentang kehidupan. Sastra menurut lukens (2003,9) menawarkan dua hal utama yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberi hiburan-hiburan yang menyenangkan. Sastra menapilkan cerita yang menarik, mengajak pembaca memanjakan fantasi membawa pembaca kesuatu alur kehidupan yang penuh daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat kerenanya, mempermainkan emosi pembaca sehingga ikut larut terhadap alur cerita, dan kesemuanya itu dikemas bahasa yang juga tidak kalah menarik.
Saxby (1991;4) mengatakan bahwa sastra hakikatnya adalah citra kehidupan. Sehingga mudah diimajinasikan saat dibaca sebuah teks sastra yang jadi adalah kesatuan dari berbagai elemen: penggalian, pengurutan, penginalaian dan pengendapan dari berbagai pengalaman kehidupan atau kemanusiaan.
Hakikat keindahanadalah bahan untuk mewujudkan bentuk sastra adalah bahasa. Bahasa dalam sastra dapat berwujud lisan dan melahirkan sastra lisan, tetapi juga dapat dalam bentuk tulisan dan melahirkan sastra tulis.

b.         Jenis-jenis Sastra (Genre)
Sebelum kita tetapkan tetang pengertian genre beserta cakupannya. Rene wellek dan Austin warren mengatakan bahwa “teori genre adalah suatu prinsip keteraturan”. pada bagian ini yang akan dibicarakan adalah genre sastra sebagai suatu karya sastra. Dari devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa karya-karya sastra yang ada diklasifikasikan ke dalam suatu kelas atau kelompok berdasarkan struktur atau susunan sastra tersebut.
Berkenaan dengan Pembagian sastra, baik secara garis besar atau  secara umum sampai kepada pembagian  berdasarkan ciri-ciri khusus suatu karya sastra, kita dapat mengenal pula bentuk sastra puisi, fiksi, dan drama. Kriteria dan pembagian ganre sastra sebagai berikut:
·         Situasi bahasa, kriteria yang paling umum berlaku ialah situasi bahasa yang hanya menunjukkan perbedaan  dalam “sikap” saja. Kita dapat  suatu pembagian atas dasar situasi bahasatanpa memperhatikan isinya. Jenis-jenis kongkret tidak dibedakan secara alami melainkan secara konvesional oleh “sikap-sikap tersebut”.
·         Isi abstrak, pembagian menurut situasi bahasa dapat dijabarkan lebih lanjut. Baik drama maupun teks cerita mempunyai isi yang berupa rangkain peristiwa yang dikatkan secara logik dan dan kronologi. Rangkain peristiwa itu disebut sejarah atau riwayat. Adanya riwayat tidak merupakan ciri  khas bagi sajak-sajak. Isi sebuah sajak dapat berupa apa saja. Andaikata ada sebuah sajak yang menyajikan serangkaian peristiwa, kita berhadapan dengan sebuah “sajak naratif”. Situasi bahasa berupa monolog, tetapi isinya berupa cerita. Ini dapat disebut bentuk campuran yang dapat didekati dari sudut naratif, puitik, atau kedua-duanya   bersama-sama.Tematik, dalam perkembangan sejarah, berbagai tema silih berganti digemari. Tema pengasingan misalnya oleh brecht dibahas dalam perspektif masyarakat, sedangkan oleh satre secara eksistensial. Ada tema yang secara idilis membahas kehidupan di pedusunan, hidup seorang gembala atau pastor (pastorale). Banyak roman bertemakan perkembangan seoarang pemuda menjadi dewasa seperti dilukiskan dalam bildungsroman. Ada kisah-kisah perjalanan, dan mada-mada ratapan (elegi). Dalam jenis sastra yang disebut epos kita berjumpa dengan perbuatan agung seorang leluhur. Ada roma detektif dan ada ungkapan lirik, ini semua dapat termasuk sastra.dst 

c.          Stuktur Sastra
1.        Unsur-unsur dalam Karya Sastra
Ada dua unsur utama dalam karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur ekstrinsik berupa segala sesuatu yang menginspirasi penulisan karya sastra dan mempengaruhi karya sastra secara keseluruhan. Unsur ekstrinsik merupakan Unsur yang terdapat di luar karya sastra meliputi: latar belakang kehidupan penulis, keyakinan dan pandangan hidup penulis, adat istiadat yang berlaku pada saat itu, situasi politik (persoalan sejarah), ekonomi, Norma, aturan yang digunakan si pengarang dalam menulis Prosa, Biografi Pengarang, daftar riwayat hidup si pengarang, dst. Sementara unsur intrinsik terdiri atas:
·         Tema                :Pokok persoalan dalam cerita.
·         Karakter          :Tokoh dalam cerita. Karakter dapat berupa manusia, tumbuhan maupun benda. Karekter dapat dibagi menjadi:
o        Karakter utama: tokoh yang membawakan tema dan memegang banyak peranan dalam cerita.
o        Karakter pembantu: tokoh yang mendampingi karakter utama.
o        Protagonis : karakter/tokoh yang mengangkat tema.
o        Antagonis : karakter/tokoh yang memberi konflik pada tema dan biasanya berlawanan dengan karakter protagonis. (Ingat, tokoh antagonis belum tentu jahat)Karakter statis (Flat/static character) : karakter yang tidak mengalami perubahan kepribadian atau cara pandang dari awal sampai akhir cerita.
o        Karakter dinamis (Round/ dynamic character): karakter yang mengalami perubahan kepribadian dan cara pandang. Karakter ini biasanya dibuat semirip mungkin dengan manusia sesungguhnya, terdiri atas sifat dan kepribadian yang kompleks.
·         Karakterisasi   : Cara penulis menggambarkan karakter. Ada banyak cara untuk menggali penggambaran karakter, secara garis besar karakterisasi ditinjau melalui dua cara yaitu secara naratif  dan dramatik. Teknik naratif  berarti karakterisasi dari tokoh dituliskan langsung oleh penulis atau narator. Teknik dramatik dipakai ketika karakterisasi tokoh terlihat dari antara lain: penampilan fisik karakter, cara berpakaian, kata-kata yang diucapkannya, dialognya dengan karakter lain, pendapat karakter lain, dsb.
·         Konflik            :Konflik  adalah pergumulan yang dialami oleh karakter dalam cerita dan . Konflik ini merupakan inti dari sebuah karya sastra yang pada akhirnya membentuk plot. Ada empat macam konflik, yang dibagi dalam dua garis besar:
o        Konflik internal
Individu-diri sendiri: Konflik ini tidak melibatkan orang lain, konflik ini ditandai dengan gejolak yang timbul dalam diri sendiri mengenai beberapa hal seperti nilai-nilai. Kekuatan karakter akan terlihat dalam usahanya menghadapi gejolak tersebut
o        Konflik eksternal
Individu – Individu: konflik yang dialami seseorang dengan orang lain
Individu – alam: Konflik yang dialami individu dengan alam. Konflik ini menggambarkan perjuangan individu dalam usahanya untuk mempertahankan diri dalam kebesaran alam.                                      Individu- Lingkungan/ masyarakat : Konflik yang dialami individu dengan masyarakat atau lingkungan hidupnya.
·         Seting              : Keterangan tempat, waktu dan suasana cerita
·         Plot                  : Jalan cerita dari awal sampai selesai
o        Eksposisi : penjelasan awal mengenai karakter dan latar (bagian cerita yang mulai memunculkan konflik/ permasalahan)
o        Klimaks : puncak konflik/ ketegangan
o        Falling action  : penyelesaian
·         Simbol             :Simbol digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak. Contoh: burung gagak (kematian)
·         Sudut pandang: Sudut pandang yang dipilih penulis untuk menyampaikan ceritanya.
o        Orang pertama: penulis berlaku sebagai karakter utama cerita, ini ditandai dengan penggunaan kata “aku”. Penggunaan teknik ini menyebabkan pembaca tidak mengetahui segala hal yang tidak diungkapkan oleh sang narator. Keuntungan dari teknik ini adalah pembaca merasa menjadi bagian dari cerita.
o        Orang kedua: teknik yang banyak menggunakan kata ‘kamu’ atau ‘Anda.’ Teknik ini jarang dipakai karena memaksa pembaca untuk mampu berperan serta dalam cerita.
o        Orang ketiga: cerita dikisahkan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti: mereka dan dia.
·         Teknik penggunaan bahasa: Dalam menuangkan idenya, penulis biasa memilih kata-kata yang dipakainya sedemikian rupa sehingga segala pesannya sampai kepada pembaca. Selain itu, teknik penggunaan bahasa yang baik juga membuat tulisan menjadi indah dan mudah dikenang. Teknik berbahasa ini misalnya penggunaan majas, idiom dan peribahasa.


2.    Unsur-unsur pembangun karya sastra fiksi
Unsur-unsur pembangun karya sastra fiksi meliputi: tema, latar, penokohan, alur, pesan, sudut pandang, dan konflik.
·         Tema merupakan ide dasar cerpen, sedangkan pesan merupakan nilai atau  nasihat yang akan disampaikan penulis kepada calon pembacanya. Tema bersifat umum, misalnya percintaan remaja, persahabatan, petualangan, dan kesetiakawanan sosial. Pesan lebih spesifik atau lebih khusus dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari tema.
·         Latar cerita merujuk kepada latar fisik, psikologis, dan sosial. Latar fisik berupa tempat, lokasi, kota atau lainnya yang secara fisik tampak atau dapat diamati.
·         Penokohan adalah proses menghadirkan tokoh oleh penulis fiksi. Pengarang atau penulis karya sastra fiksi dapat menampilkan tokoh dengan berbagai cara, di antaranya melalui narasi pengarang, dialog antartokoh, tingkah laku tokoh, penulisan fisik tokoh, komentar tokoh terhadap tokoh lain, penciptaan latar, dan perpaduan dari cara-cara itu.
·         Alur dan konflik mempunyai hubungan yang sangat erat, selain unsur-unsur yang lain. Alur adalah rangkaian peristiwa yang membangun keutuhan cerita fiksi. Selanjutnya, rangkaian peristiwa yang terikat oleh latar yang di dalamnya terdapat tokoh secara bersama-sama akan membangun konflik. Secara sederhana, konflik itu dimulai dari adanya pertentangan, menuju klimaks, dan mengarah menuju penyelesaian.
·                     Sudut pandang merujuk pada sudut pandang penulis dalam mendudukkan keseluruhan cerita. Sudut pandang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, dan orang serba bisa akan berpengaruh terhadap jalannya cerita dan akhir dari cerita itu.

a.    Gaya dalam Sastra
Pembagian global menurut puisi dan prosa sebetulnya bersifat stilistik. Dalam pandangan ini puisi dianggap teratur menurut irama. Pengaruh anggapan tersebut terhadap sejarah sastra cukup besar. Tetapi, bila sekarang kita membandingkan sebuah sajak “modern” (seperti dalam kumpulan sajak sapardi djoko damono, aquarium) dengan prosa melayu klasik misalnya, maka kentaralah bahwa cirri-ciri yang dianggap khas bagi puisi dan prosa sama sekali tidak universal dan abadi.
Dalam buku-buku  puitika klasik juga dibedakan secara stilistik antara gaya yang cocok bagi seorang petani. Pernah juga dibedakan antara gaya simbolik dan gaya realistik. Dalam teori klasik gaya tinggi dihubungkan dengan pentas tragedy, sedangkan gaya rendah dihubungkan dengan komedi. Demikian juga dibedakan antara epos dan roman rakyat.
Dampak stilistik sebuah teks tergantung dari harapan pembaca. Pada zaman naturalisme oaring-orang merasa tersinggung oleh gaya penulisan zola yang di anggap kasar dan jorok dan juga karna ia memakai dampai bahasa sehari-hari. Pemakaian bahasa sehari-hari dalam prosa kini demikian biasa sehingga tidak dipersoalkan lagi. Sebaliknya kini gaya bahasa Gerard reve yang agak resmi itu agak menyolok.Gaya dalam bahasa biasanya menggunakan majas. Majas adalah gaya bahasa dalam bentuk tulisan maupun lisan yang dipakai dalam suatu karangan yang bertujuan untuk mewakili perasaan dan pikiran dari pengarang. Majas dibagi menjadi beberapa macam, yakni majas perulangan, pertentangan, perbandingan dan pertautan. Dalam artikel ini hanya dijelaskan perbandingan dan pertentangan.
1.            Gaya bahasa perbandingan
Ć¼    Majas Metafora
Majas metafora adalah gabungan dua hal yang berbeda membentuk suatu pengertian yang baru. Contoh : raja siang, kambing hitam, dll.
Ć¼  Majas Alegori
Majas alegori adalah cerita yang digunakan sebagai lambang yang digunakan untuk pendidikan. Contoh : anjing dan kucing, kelinci dan kura-kura, dsb
Ć¼  Majas Personifikasi
Majas personifikasi adalah gaya bahasa yang membuat banda mati seolah-olah hidup memiliki sifat-sifat manusia. Contoh :
- Kereta api tua itu meraung-raung di tengah kesunyian malam jumat pahing.
- awan menari-nari di angkasa
Ć¼   Majas Perumpamaan
Majas perumpamaan adalah suatu perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Contoh :
-Bagaikan harimau pulang kelaparan
- Seperti manyulam di kain lapuk
Ć¼  Majas Antilesis
Majas antilesis adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan. Contoh :
- Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan yang menyakitkan.
2.            Gaya Bahasa Pertentangan
Ć¼   Majas Hiperbola
Majas hiperbola adalah suatu gaya bahasa yang bersifat melebih-lebihkan. Contoh :
- Ibu itu terkejut setengah mati ketika mendengar anaknya tidak lulus ujian nasional.
Ć¼  Majas Ironi
Majas ironi adalah gaa bahasa yang bersifat menindir dengan halus. Contoh :
- Pandai sekali kau baru datang ketika rapat mau selesai
Ć¼  Majas Litotes
Majas litotes adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu yang baik menjadi bersifat negatif. Contoh :
- Mampirlah ke gubuk saya! (padahal rumahnya besar dan mewah)
a.          Aliran-aliran Sastra
Aliran-aliran dalam karya sastra sebagai berikut:
1. Aliran realisme
Aliran realisme ialah aliran yang ingin mengemukakan kenyataan, barang yang lahir (lawan batin). Sifatnya harus obyektif karena pengaranag melukiskan dunia kenyataan. Segala-galanya digambarkan seperti apa yang tampak, tak kurang tak lebih. Rasa simpati dan antipati pengarang terhadap obek yang dilukiskannya, tak boleh disertakannya. Dengan perkataan lain, pengarang dalam ceritanya itu tidak ikut bermain, dia hanya penonton yang obyektif.
2. Aliran realisme
Aliran realisme melukiskan apa yang tampak, yang nyata, maka seniman ekspresionisme merasakan apa yang bergejolak dalam jiwanya. Pengarang ekspresionisme menyatakan perasaan cintanya, bencinya, rasa kemanusiaannya, rasa ketuhanannya yang tersimpan di dalam dadanya. Baginya, alam hanyalah alat untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup.
Kalau seniman impresionistis menyatakan kesannya sesudah dia melihat sesuatu, maka seniman ekspresionistis mengeluarkan rasa yang menyesak padat di dalam kalbunya dengan tak memerlukan rangsangan dari luar. Sifat lukisannya subyektif. Pernyataan jiwa sendiri ini terutama dinyatakan dengan bentuk puisi karena puisi adalah alat utama pujangga sastra untuk melukiskan perasaannya. Sajak-sajak Chairil Anwar kebanyakan ekspresionistik sifatnya. dalam aliran ekspresionisme termasuk juga aliran-aliran: romantic, idealisme, mistisisme, surealisme, simbolik, dan psikologisme.
3. Aliran naturalisme
Aliran naturalisme ingin melukiskan keadaan yang sebenarnya, sering cenderung kepada lukisan yang buruk, karena ingin memberikan gambaran nyata tentang kebenaran. Untuk melukiskan kejelekan masyarakat, pengarang naturalis tidak segan-segan melukiskan kemesuman. Emelia Zola seorang pengarang naturalis Perancis yang paling besar di zamannya. Sering lukisannya dianggap melampaui batas kesopanan sehingga seolah-olah tidak ada lagi batas-batas ukuran susila dan ketuhanan padanya.
4. Aliran Determinisme
Determinisme ialah cabang aliran naturalisme, bias diartikan ‘paksaan nasib’. Tetapi bukan nasib yang ditentukan oleh keadaan masyarakat sekitar seperti kemiskinan, penyakit, penyakit keturunan, kesukaran karena akibat peperangan, dan sebagainya. Yang menjadi soal dalam karangan-karangan aliran ini ialah penderitaan seseorang: jahatkah, melaratkah, menderita karena penyakit keturunan, bukan karena Tuhan sudah menakdirkan dia harus hidup demikian, melainkan sebagai akibat masyarakat yang bobrok. Masyarakat yang bobroklah yang melahirkan manusia-manusia seperti itu. Cara pengarang melukiskan juga naturalistic.
5. Aliran impresionistis
Pengarang impresionistis melahirkan kembali kesan atas sesuatu yang dilihatnya. Kesan itu biasanya kesan sepintas lalu.Pengarang takkan melukiskannya sampai mendetail, sampai kepada yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme sipaya ketegasan, spontanitas penglihatan, dan perasaan mula pertama tetap tak hilang. Lukisan seperti itulah lukisan beraliran impresionisme.
6. Aliran romantic
Aliran romantic mengutamakan rasa, sebagai lawan aliran realisme. Pengarang romantis mengawan kea lam khayal, lukisannya indah membawa pembaca kea lam mimpi. Yang dilukiskannya mungkin saja terjadi, tetapi semua dilukiskan dengan mengutamakan keharuan rasa para pembaca. Bila seseorang berada dalam keadaan gembira, maka suasana sekitarnya harus pula memperlihatkan suasana yang serba gembira, hidup, berseri-seri. demikian juga sebaliknya. Kata-katanya pilihan dengan perbandingan-perbandingan yang  muluk-muluk.
Aliran romantic terbagi pula atas aktif romantic dan pasif romantic. Dinamakan aktif romantic apabila lukisannya menimbulkan semangat untuk berjuang, mendorong keinginan untk maju. Dinamakan pasif romantic, apabila lukisannya berkhayal-khayal, bersedih-sedih, melemahkan semangat perjuangan.
7. Aliran Idealisme
Idealisme ialah aliran romantic yang  didasarkan pada ide pengarang semata- mata. Pengarang memandang ke masa  yang dapat memberikan bahagia  kepadanya atau kepada nusa dan  bangsanya. Seolah-olah pengarang  seorang juru ramal yang merasa bahwa  ramalannya (fantasinya) pasti atau  sekurang-kurangnya mungkin terjadi.
8. Aliran realitas
Dalam aliran ini lukisan realitasnya bercampur angan-angan, mala angan-angan amat mempengaruhi bentuk lukisan. Di dalamnya ada pernyataan jiwa, pemasakan dalam jiwa. Kalau dalam film semua hal (gerak-gerik, suara, musik, pemandangan) dapat dinyatakan serentak, maka di dalam tulisan, hal-hal seperti itu harus dinyatakan satu demi satu. Itu sebabnya, lukisan tampak melompat-lompat dari yang satu kepada yang lain, justru untuk menyatakan keseluruhan itu sekaligus.Payah pembaca mengikuti karangan yang bercorak surealisme. Pembaca harus menyatukan dalam pikirannya segala lukisan yang seakan-akan bertaburan itu. Jalan atau aturan tata bahasa seolah-olah diabaikan oleh pengarang karena pikiranna meloncat-loncat dengan cepat. Logika seakan-akan hilang, alam benda dan alam pikiran bercampur aduk menjadi satu. Kebanyakan sajak-sajak Sitor Situmorang beraliran surealisme.
9. Aliran simbolik
Lukisan secara simbolik ialah lukisan yang menganbil sesuatu sebagai pelambang, sering kelihatan seperti sindiran. Pada masa jepang berkuasa di tanah air kita, sensor atas karangan-karangan amat keras. Untuk mencoba melepaskan diri dari jaringan sensor itu, dibuatlah karangan yang simbolis. Jika tidak, maka karangan ditambah lagi dengan kalimat-kalimat yang tak berarti sekedar untuk mengelabuhi mata sensor Jepang. Dalam karangan yang simbolis biasanya binatang atau tumbuhan dilukiskan sebagai manusia dengan sifat-sifatnya. Misalnya Hikayat Kalilah dan dimnah, Hikayat Panca Tantra, Syair si Burung Pungguk. Dalam kesusastraan Indonesia, kita lihat misalnya karangan Maria Amin Tinjaulah Dunia Sana. Tokohnya ikan-ikannya dalam akuarium. Gerak-gerik dan sifat-sifat ikan itu dilukiskannya sebagai lukisan manusia yang beraneka ragam sifatnya. Aliran simbolik sejalan dengan surealisme, yakni bahwa ala mini hanyalah sebagai batu loncatan untuk menyatakan pengertian yang lebih tentang manusia yang hidup.
10. Aliran Psikologisme
Aliran ini mengutamakan penguraian psiko (jiwa). Itu sebabnya pengarang harus mempunyai pengetahuan tentang dasar-dasar  jiwa manusia berdasarkan teori-teori para ahli ilmu jiwa umpamanya Freud dan Kunkel, mengetahui teeori serta mendalami jiwa manusia seperti tokoh cerita yang akan ditampilkannya. Harus tahu bagaimana jiwa orang Islam, Kristen, Budha, Hindu, sehubungan dengan agama anutan masing-masing. Harus tahu bagaimana jiwa manusia yang berpaham Marxisme, anarchisme, dan sebagainya. Dengan tak memiliki pengetahuan tersebut, sukarlah bagi pengarang melukiskan jiwa tokoh-tokoh ceritanya setepat mungkin. Contoh kaangan yang beraliran psikologisme dalam kesusastraan kita adalah Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Jalan tak Ada ujung karya Mochtar Lubis.

1.    Kritik sastra
Kritik sastra adalah bidang ilmu sastra yang mempelajari hal ikhwal tentang penilaian, pertimbangan, dan baik buruknya karya sastra. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya atau dibantah kesalahannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah talaah satra, kajian sastra, analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas karya sastra, pemguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Jenis-jenis kritik sastra dapat dibedakan berdasarkan pendekatan terhadap karya sastra.
1)          Pendekatan tradisional, lebih mengutamakan pada segi-segi kesejarahan riwayat hidup serta moral filosofis.
2)          Pendekatan formalistik, ditandai oleh pratik sastra yang mengutamakan penilaiannya pada bentuk dan stuktur karya sastra.
3)          Pendekatan fsikologis merupakan upaya pengaplikasian teori-teori kejiwaan dalam pembicaraan karya sastra. Segala sesuatu yang berkaitan dengan segi-segi kejiwaan penulis dan karyanya dijadikan dasar analisis karya sastra.
4)          Pendakatan sosiologis memusatkan perhatian pada aspek-aspek sosiologis sastra. Aspek tersebut secara garis besarnya adalah hubungan timbal bailik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat.
Kritik Sastra adalah analisis untuk menilai suatu karya sastra. Tujuan kritik sebenarnya bukan menunjukkan keunggulan, kelemahan, benar/salah sebuah karya sastra dipandang dari sudut tertentu, tetapi tujuan akhirnya mendorong sastrawan untuk mencapai penciptaan sastra setinggi mungkin dan mendorong pembaca untuk mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.
Ada 2 jenis kritik sastra:
1.         Kritik sastra intrinsik fokusnya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisa unsur-unsur karya sastra itu.
2.         Kritik sastra ekstrinsik Menghubungkan karya sastra dengan hal-hal diluar karya sastra. Misal: menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya, karya sastra dihubungkan dengan ilmu psikologi, agama, sejarah, filsafat.

1.    Sejarah sastra
Sejarah sastra adalah salah satu bagian dari kajian ilmu sastra. Kata sejarah berasal dari bahasa Arab, sajarun yang berarti pohon. Pohon menggambarkan adanya akar, cabang, dan ranting yang memperlihatkan adanya proses susunan peristiwa secara kronologis. Sejarah itu sendiri mempunyai arti yang sama, yaitu rekaman perjalanan kehidupan manusia dari masa lampau sampai masa-masa berikutnya. Karya sastra adalah salah satu bagian dari asset budaya suatu bangsa. Bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang tidak hanya memiliki hasil karya sastra bangsanya, tetapi juga menghargai dan memberikan apresiasinya terhadap karya sastra sebagai hasil karya bangsanya itu. Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra yang mempelajari kesusastraan Indonesia mulai munculnya kesusastraan Indonesia sampai masa-masa selanjutnya, dengan segala persoalan yang melingkupinya. Sebagai contoh : Di akhir abad ke-20, terbit novel Saman karya Ayu Utami yang ‘menghebohkan’ dunia sastra Indonesia. Tahun 70-an terbit novel-novel Trilogi Iwan Simantupang, Merahnya Merah (1968), Ziarah (1969) dan Kering (1970) yang dianggap novel absurd, sarat filsafah, yang sulit dipahami, karena berbeda dengan pola-pola cerita pada novel-novel tahun-tahun sebelumnya. Jauh sebelumnya, pada tahun 40-an terbit novel Belenggu yang dianggap mengusik keindahan sastra dengan ‘menelanjangi’ kehidupan kaum elit yang diwakili oleh keluarga dokter Sukartono. Pada tahun 20-an, lahir novel Sitti Nurbaya yang sangat laris pada masa itu sehingga melampaui kelarisan novel-novel yang lahir sebelumnya seperti Azab dan Sengsara.
Sejarah sastra adalah bidang ilmu sastra yang mempelajari perkembangan kesusastraan mulai masa kelahiran, pertumbuhan, dan perkembangan. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak  karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus mendekomentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatar belakanginya, karakteristik isi dan tematik. Persoalan-persoalan yang menjadi kajian sejarah sastra sebagai berikut:
·                  Periodisasi sastra atau pembabakan waktu dalam perkembangan sastra.
·                  Perkekbangan generi sastra, seperti sejarah perkembangan roman, novel, cerpen, puisi, dan drama.
·                  Lahirnya suatu angkatan dalam sastra.
·                  Perkembangan aliran-aliran yang ada pada suatu angkatan.
·                  Pengaruh sastra lama dan sastra asing terhadap sastra modern atau sastra nasional.
·                  Pertumbuhan dan perkembangan gaya bahasa.

C.       Lingkup Kajian Sejarah Sastra
Berdasarkan atas objek pengkajiannya, sejarah sastra mempunyai ruang lingkup yang cukup beragam. Keberagaman tersebut sebagai berikut:
1.      Dari sudut perkembangan kesusastraan suatu bangsa, terdapat sejarah perkembangan kesusastraan berbagai bangsa di dunia. Seperti : sejarah sastra Indonesia, Jepang, Amerika.
2.      Dari sudut perkembangan kesusastraan suatu daerah, ada sejarah sastra daerah. Seperti : Sastra Minangkabau, Sastra Aceh, Batak, dll.
3.      Dari sudut perkembangan kebudayaan, ada sejarah sastra pada masa kuatnya kebudayaan tertentu. Seperti : sejarah sastra klasik, sejarah sastra zaman melayu.
4.                  Dari sudut perkembangan genre, jenis, atau ragam karya sastra. Seperti : sejarah perkembangan puisi, novel, cerpen.
Menurut A. Teeuw, masih banyak yang harus dilakukan oleh para peneliti sejarah sastra Indonesia. Pengkajiannya dapat bertolak belakang dari berbagai sudut yang dapat menggambarkan perkembangan sejarah sastra Indonesia. Berikut cara pengkajiannya.
1.      Pengkajian Genetik atau Pengaruh Timbal Balik Antarjenis Karya Sastra
2.      Pengkajian Intertekstual Karya Individu
3.      Pengkajian Resepsi Sastra oleh Pembaca
4.      Penelitian Sastra Lisan
5.      Pengkajian Sastra Indonesia dan Sastra Nusantara
Sejarah sastra Indonesia, seperti halnya sejarah sosial lainnya, masih belum memperlihatkan kondisi yang sebenarnya. Bangunan sejarah sastra Indonesia rumpang di sejumlah bagian. Ini diakibatkan oleh studi sastra yang berpedoman pada kanonisasi dan kategorisasi sastra, pengukuhan periodeisasi yang telah ditulis sebelumnya, di samping juga karena keterbatasan sumber data dan kritikus yang ada.
Penulisan sejarah sastra memunculkan sejumlah nama dan karya yang dianggap mewakili periode tertentu dalam pembabakan yang diciptakan. Selain disangkutkan pada peristiwa sosial, pembabakan ini juga memperlihatkan pada kecenderungan capaian estetika tertentu, sesuai dengan semangat zamannya. Karena itu, kita mengenal periode Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, dan sebagainya. Inilah risiko yang harus dijumpai hingga saat ini, bagaimana sejarah perjalanan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari konteks sosialnya. Setidaknya, pandangan ini memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra dan masyarakatnya.
Di luar kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk, sejumlah genre sastra kita hilang atau tidak banyak dibicarakan. Karya-karya yang ada di media massa, terutama yang terbit di berbagai koran daerah, luput dari kajian. Karya-karya yang dianggap picisan atau terbitan penerbit partikelir pribumi juga tak masuk dalam pembicaraan. Bahkan, beberapa karya awal sejumlah pengarang besar yang terbit di koran dan penerbit kecil tak masuk dalam daftar riwayat kepengarangan, yang sebenarnya penting untuk dibicarakan dalam proses kreatif kepengarangan. Bahkan sejumlah karya tidak dapat ditemukan lagi, baik akibat sensor dan pembredelan pada masa penjajahan dan setelah kemerdekaan, maupun karena telah hancur karena umurnya yang sudah tua.
Namun, kajian sejarah sastra Indonesia, terutama yang membicarakan karya-karya yang tidak masuk dalam kanonisasi ini, telah dilakukan oleh sejumlah ahli sastra dan hasilnya dapat kita temukan. Wendy June Solomon (1993) dan Mikihiro Moriyama (2005), misalnya, dengan cukup komprehensif membahas karya-karya sastra yang terbit di Jawa Barat dan sejarah penerbitannya. Demikian juga dengan George Quinn (1992) yang meneliti novel-novel Jawa. Ada juga Sitti Faizah Rivai (1963) yang pernah menulis skripsi di Universitas Indonesia tentang roman-roman picisan pada zaman penjajahan. Kajian yang menarik juga muncul di sejumlah artikel dalam buku Clearing a Space yang dieditori oleh Keith Foulcher dan Tony Day (2006). Doris Jedamski (2007) juga melakukan penelitian terhadap polemik karya sastra yang terbit di Medan pada masa penjajahan.
Jika kita baca sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, yang sebagian besar dilakukan oleh para peneliti dari luar negeri, ternyata nama dan karya di luar kanonisasi dan kategori yang dibentuk dalam kajian sejarah sastra Indonesia cukup menarik untuk dibahas. Sejumlah hal menarik muncul. Tentu saja dengan sudut pandang kajian yang menawan pula. Paling tidak, kita bisa membaca kajian dengan obyek yang masuk dalam kanonisasi yang termaktub dalam tesis Watson (1972) tentang sosiologi karya-karya terbitan Balai Pustaka yang cukup luas. Atau bagaimana pengaruh pengarang Minangkabau dalam karya-karya Balai Pustaka yang dibahas oleh Freidus (1977). Perspektif yang digunakan dalam kajian-kajian mereka cukup jernih, dalam artian bagaimana mereka memperlakukan obyek kajiannya tanpa tendensi pengaruh kanonisasi dan kategorisasi yang dibentuk. Inilah yang menjadi tantangan lain dalam penulisan dan kajian sejarah sastra kita.
Tanpa harus mempertahankan dan melanjutkan tradisi kanonisasi, yang hanya akan berakibat pada pembenaran dan penguatan kesimpulan yang ada sebelumnya. Penulisan sejarah sastra kita dapat disemarakkan oleh berbagai revisi atas kesimpulan terdahulu. Dan hal ini tampaknya memerlukan pengkaji baru, jika tidak ada perubahan sikap keterbukaan para peneliti yang ada, yang berbicara atas penemuan mereka, bukan pada upaya mempertahankan pernyataan-pernyataan yang telah mereka buat.
Modal usaha seperti ini sebenarnya sudah tersedia, dengan memanfaatkan berbagai institusi yang ada, seperti fakultas sastra, balai bahasa, dan perpustakaan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi sudah banyak kajian awal yang dilakukan oleh para peneliti sastra Indonesia. Beberapa terbitan mengenai sastra di berbagai daerah, sepengetahuan saya, hanya berupa kompilasi sastra, baik kajian maupun karya sastra, yang belum mencerminkan kondisi sesungguhnya dari dinamika sastra Indonesia.
Kontinuitas sastra Indonesia Sastra Indonesia, dengan penambahan kata ”modern”, sering kali menjadi awal perdebatan ketika berbicara tentang sejarah sastra Indonesia. Pengaruh bentuk dan gaya sastra asing (baca: Barat) dijadikan patokan untuk menyebut sastra Indonesia yang modern. Dalam nuansa dan konteks seperti ini, kesinambungan sastra Indonesia yang modern dengan tradisi sastra yang sudah ada, yang menjadi latar estetik para pengarang, menjadi kabur. Pergaulan pengarang dengan budayanya, dengan tradisi estetik yang diterima secara budaya, sekadar menjadi warna atau setting dalam proses kreatif yang dijalaninya.
Pada masa transisi dari sastra lama ke sastra modern, jika itu ada, dibatasi dan ditandai pada penghormatan akan nama pengarang yang sebelumnya anonim, media publikasi, bentuk pendidikan dan pengetahuan barat, dan pengaruh karya sastra barat. Sebagai akibat, sastra lama kemudian dijadikan artifak, yang dikaji melalui filologi atau arkeologi. Para peneliti sastra, khususnya sejarah sastra, menjadi asing dengan tradisi yang dimiliki oleh sejarah panjang sastra di Indonesia, atau nusantara ini. Hal yang lazim adalah para peneliti sastra menggunakan hasil kajian yang terakhir itu untuk menunjang kerja mereka. Kita tidak pernah betul-betul bersinggungan langsung dengan karya-karya lama kita.
Sementara waktu terus berjalan, jarak ketertinggalan kita dengan persoalan yang serius ini mungkin semakin panjang. Karya sastra Indonesia yang modern dan kontemporer terus lahir, yang belum sepenuhnya mampu dibicarakan. Di lain sisi, sastra lama kita juga semakin jauh dan asing. Kegundahan yang menyelimuti kajian sastra Indonesia, terutama para penelitinya, tampaknya tergambar dalam situasi seperti ini.
Kecenderungan penulisan Penulisan sejarah sastra Indonesia telah banyak dilakukan peneliti sastra. Ajip Rosidi (1983. cet.3), Jacob Sumardjo (2004, 1999), Yudiono KS (2007), Korrie Layun Rampan (1983, 1986), Agus R Sarjono (2001), HB Jassin (tentu saja dalam berbagai buku yang ditulis atau dieditorinya), dan sebagainya. Namun, dengan menekankan pada periodisasi berdasarkan konteks sosial, seperti yang sudah dikenal secara luas, masih meninggalkan sejumlah fakta yang cukup penting.
Sastra dianggap penting ketika ia berkorelasi dengan situasi di luar dirinya, atau keterlibatan pengarang dalam aktivitas sosial. Aspek sosiologi dari sastra mau tak mau dijadikan dasar pijakan dalam penulisan sejarah sastra. Beban sosial ini dengan segera menjadi dasar kriteria dalam menentukan kualitas karya, dan menempatkannya dalam deretan penting karya sastra yang tercatat dalam sejarahnya. Capaian bentuk estetika karya, karenanya, menjadi pertimbangan berikutnya.
Pertimbangan sosiologi ini memang menjadi salah satu indikasi yang menonjol, karena peneliti sastra dapat merujuknya dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Namun kemudahan ini tentu saja bukan menjadi alasan utama ketika kita harus berbicara tentang sastra, termasuk dalam penulisan sejarah sastra, dengan perangkat estetika yang tidak melulu berbicara tentang aspek sosialnya.

D.       Periodisasi sastra Secara Konvensional/Umum.
1.      Periodisasi Sastra Indonesia
Ada berbagai macam periodisasi sastra Indonesia menurut para ahli. Secara umum, periodisasi sastra Indonesia adalah Sastra lama, Sastra peralihan, Sastra Indonesia Baru.
Sastra Lama dibedakan menjadi tiga yaitu; sastra jaman purba, sastra pengaruh Hindu, sastra pengaruh Islam. Sementara sastra peralihan sering disebut dengan sastra jaman Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia baru bisa dibedakan menjadi sastra balai pustaka angkatan 20, sastra Pujangga Baru angkatan 30, Sastra Angkatan 45, Sastra Angkatan 66, Sastra kontemporer angkatan 70-an.
Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu Sastra lama/purba, Sastra pengaruh Hindu dan Arab, Sastra Indonesia baru, dan Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bisa dirinci menjadi; Sastra jaman Abdullah, Balai Pustaka, dan Pujangga Baru.
Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2 yaitu; sastra lama dan sastra baru. Sastra lama mencakup; dinamisme, Hinduisme, Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi; Sastra jaman Abdullah, Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Sastra angkatan 45.
Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu; Sastra Melayu, dan Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 yaitu; Purba, Hindu/Islam, Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi; Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan sesudah Angkatan 45.
Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni; sastra lama (…. – 1920), Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan Sastra Indonesia Modern (1945 - …..).
Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni; Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian yaitu; Balai pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66.
Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni; sastra Melayu atau sastra lama, dan sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu; masa kebangkitan, dan masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 yaitu; periode 20, periode 33, dan periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu; periode 45 dan periode 50. Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan yaitu:
·            Angkatan pujangga lama
·            Angkatan sastra melayu lama
·            Angkatan balai pustaka
·            Angkatan pujangga baru
·            Angkatan 1945
·            Angkatan 1950-1960-an
·            Angkatan 1966-1970-an
·            Angkatan 1980-1990-an
·            Angkatan reformasi
·            Angkatan 2000-an

1.      Karya Sastra Bentuk Prosa
Karangan prosa ialah karangan yang bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada dasarnya karya bentuk prosa ada dua macam, yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya sastra yang bersifat bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan karya sastra yang kreatif imajinatif, sedangkan karya sastra yang bukan astra ialah karya sastra yang nonimajinatif.
Macam Karya Sastra Bentuk Prosa
Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.
a.    Prosa lama 
Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia.  Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.  Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:
·      Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
·      Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
·      Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
·      Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.
·      Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
·      Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam

b.      Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.  Berdasarkan isi atau sifatnya prosa baru dapat digolongkan menjadi:
·         Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam 
·         Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup   pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau  Ki hajar Dewantara.  
·         Otobiografi adalah karya yang berisi daftar riwayat diri sendiri.
·         Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
·         Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
·         Cerpen adalah suatu karangan prosa yang berisi sebuah peristiwa kehidupan manusia, pelaku, tokoh dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya dengan Perahu Bugis karangan Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan Idrus.
·         Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.
·         Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk  suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yangs ifatnya objektif dan menghakimi.
·         Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
·         Esei adalah ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif  atau sangat pribadi.
c.       Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah
·         tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
·         amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
·         rima adalah persamaan-persamaan bunyi
·         ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
·         metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
·         majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi
·         kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api, dll.)
·         diksi adalah pilihan kata/ungkapan
·          tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.

Ć¼  Puisi lama
Ciri puisi lama:
·         merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya
·         disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
·          sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima
Yang termausuk puisi lama adalah:
Ƙ  mantra adalah ucapan-ucapan yangd ianggap memiliki kekuatan gaib
Ƙ  pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran,  2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka
Ƙ  karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek
Ƙ  seloka adlah pantun berkait
Ƙ  gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat
Ƙ  syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita
Ƙ  talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris
Ć¼  Puisi baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.Menurut isinya, puisi dibedakan atas:
·         balada adalah puisi berisi kisah/cerita
·         himne adAlah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
·          ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang ebrjasa
·         epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
·         romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
·          elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
·         satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik

Ć¼  Drama/Film
Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).







BAB II
SASTRA MELAYU SEBAGAI BAGIAN DARI
SASTRA INDONESIA KLASIK
A.    Pengertian Sastra Melayu Klasik
Sastra melayu klasik adalah sastra berbahasa melayu yang berkembang sekitar tahun 1500 sampai awal abad ke- 19. Sastra melayu klasik ini memiliki ciri-ciri antara lain: anonym, statis, klise, istanasentris. Ciri-ciri itu mencerminkan sifat masyarakat lama yang menghasilkan karya sastra tersebut.
Sastra Melayu klasik sering juga disebut sastra Indonesia lama karena ada periodisasi sejarah sastra yang membedakan antara sastra lama dan sastra modern. Jenis sastra ini berkembang sejak abad ke-16 Masehi. Sastra Melayu klasik bermula dari cerita lisan masyarakat secara turun-temurun atau leluri.
Dalam sastra ini, biasanya nama pengarang tidak dikenal (anonim) karena cerita berkembang dari kehidupan masyarakat yang belum pandai dalam hal baca tulis. Karya-karya yang beredar banyak berupa tuturan. Kemudian, setelah pandai melakukan baca tulis, barulah karya-karya tersebut dituangkan dalam tulisan naskah sastra Melayu klasik
Sastra Melayu atau Kesusastraan Melayu adalah sastra yang hidup dan berkembang di kawasan Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada jaman sebelum Hindu, jaman Hindu, jaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan jaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu. Terjadi hubungan yang erat antara tahap perkembangan, kehadiran genre, dan faktor lain di luar karya sastra.
Sastra Melayu berkembang pesat pada jaman Islam dan sesudahnya, karena tema-tema yang diangkat seputar kehidupan masyarakat Melayu, meskipun beberapa ada pengaruh asing. Sebelum jaman Islam, konteks penceritaannya lebih berorientasi ke wilayah di luar Melayu, yaitu India dengan latar belakang kebudayaan Hindu.
Yang dimaksud dengan Sastra Melayu Klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu pada masa sebelum dan sesudah Islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa Balai Pustaka. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.
Kesusastraan Melayu sebelum Islam tidak ada nuansa Islam sama sekali dan bentuknya adalah sastra lisan. Isi dan bentuk sastranya lebih banyak bernuansa animisme, dinamisme, dan Hindu-Budha, dan semua hasil karya tersebut dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi. Untuk puisi, tampak tertuang ke dalam wujud pantun, peribahasa, teka-teki, talibun, dan mantra. Bentuk yang terakhir ini (mantra), sering dikenal dengan jampi serapah, sembur, dan seru. Sedangkan bentuk prosa, tampak tertuang dalam wujud cerita rakyat yang berisi cerita-cerita sederhana dan berwujud memorat (legenda alam gaib yang merupakan pengetahuan pribadi seseorang), fantasi yang berhubungan dengan makhluk-makhluk halus, hantu dan jembalang.
Perkembangan kesusastraan Melayu sesudah kedatangan Islam ditandai dengan penggunaan Huruf Arab yang kemudian disebut Tulisan Jawi atau Huruf Jawi, yang dalam perkembangannya dikenal dengan istilah Arab Melayu. Hal ini dikarenakan masyarakat Melayu merasa bahwa tulisan tersebut telah menjadi milik dan identitasnya. Huruf Jawi ini diperkenalkan oleh para pendakwah Islam untuk membaca al-Qur`an dan menelaah berbagai jenis kitab dari berbagai disiplin ilmu. Perkembangan penulisan ini sangat pesat karena Islam memperbolehkan semua orang untuk menulis dalam berbagai bidang.
Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena itu, penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.
Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa, nyanyi panjang, dodoi, koba dll. Gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis. Sehingga gurindam, dongeng, legenda dan syair berkembang menjadi bagian dari tradisi tulis.

B.     Penggolongan Sastra Melayu Klasik
1.   Sastra Melayu Asli
Terdiri  dari  genre  cerita  rakyat, sejarah lama, dan  penglipur lara. Kesusastraan rakyat/ Kesusastraan melayu asli, hidup ditengah-tengah masyarakat. Cerita itu diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek mamak kepada cucunya, dari pencerita kepada pendengar. Penceritaan ii dikenal sebagai sastra lisan (oral literature).
Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang dianut masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya : Cerita asal-usul, Cerita binatang, Penglipur lara.
2.   Pengaruh  cerita  Jawa
Terdiri  dari  cerita-cerita  Panji, Damarwulan, dan lain – lain.
3.   Pengaruh India
Terdiri dari cerita-cerita yang bersumber dari kitab Ramayana, Mahabarata, dan Pancatantra.
Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang : 1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat Melayu.
Ramayana : cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu Kakimpoi Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri Rama yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear.
Mahabarata : Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu. Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang.
4.   Pengaruh Arab-Persi
Terdiri dari genre cerita ketatanegaraan, ditaktik, dan roman sejarah.

















BAB III
GENDER SASTRA MELAYU KLASIK
1.   Pengertian
Pengertian Sastra Melayu Klasik Sastra melayu lama adalah sastra yang berbentuk lisan atau sastra melayu yang tercipta dari suatu ujaran atau ucapan. Sastra melayu lama masuk ke indonesia bersamaan dengan masuknya agama islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra melayu lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di minye tujuh, aceh.
Sastra melayu lama adalah termasuk bagian dari karya sastra indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatera seperti "langkat, tapanuli, minangkabau dan daerah sumatera lainnya", orang tionghoa dan masyarakat indo-eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Yang dimaksud dengan sastra melayu klasik adalah sastra yang hidup dan berkembang di daerah melayu pada masa sebelum dan sesudah islam hingga mendekati tahun 1920-an di masa balai pustaka.. Masa sesudah Islam merupakan zaman dimana sastra Melayu berkembang begitu pesat karena pada masa itu banyak tokoh Islam yang mengembangkan sastra Melayu.
Catatan tertulis pertama dalam bahasa Melayu Kuna berasal dari abad ke-7 Masehi, dan tercantum pada beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatera dan wangsa Syailendra di beberapa tempat di Jawa Tengah. Tulisan ini menggunakan aksara Pallawa.[3] Selanjutnya, bukti-bukti tertulis bermunculan di berbagai tempat, meskipun dokumen terbanyak kebanyakan mulai berasal dari abad ke-18.
2.   ciri-ciri sastra melayu lama yaitu :
G  Anonim atau tidak ada nama pengarangnya
G  Istana sentris (terikat pada kehidupan istana kerajaan)
G  Tema karangan bersifat fantastis
G  Karangan berbentuk tradisional
G  Proses perkembangannya statis.
3.   Penggolongan sastra melayu klasik Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena itu, penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.
4.   Kesusastraan Rakyat / kesusastraan Asli (Masa Purba) Kesusastraan rakyat/ Kesusastraan melayu asli, hidup ditengah-tengah masyarakat. Cerita itu diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek moyang kepada cucunya, dari pencerita kepada pendengar. Penceritaan ini dikenal sebagai sastra lisan (oral literature). Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang dianut masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya :
G  Cerita asal-usul
G  Cerita binatang
G  Cerita Jenaka
G   Cerita Pelipur lara.

A.    CERITA RAKYAT DAN PELIPURLARA
Cerita rakyat adalah cerita zaman dahulu yang hidup di masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun/lisan. Biasanya disampaikan oleh pelipur lara, tukang kentrung, minstrel, dan tubadur (Eropa) Cerita rakyat mengandung ajaran moral dan sebagai pelipur lara (menghibur rakyat yang belum mengenal hibyuran lain). Cerita rakyat bersifat khayali dan disebut juga dongeng.
Jenis-jenis cerita rakyat :
1.   Legenda
Menceritakan kehidupan seorang tokoh, peristiwa, kejadian, atau tempat.
Contoh : malin kundang, tangkuban perahu
2.   Sage
Menceritakan peristiwa sejarah yang sudah bercampur dengan fantasi rakyat.
Contoh : hikayat hang tuah, sejarah melayu.
3.   Mite
Menceritakan kejadian yang berakar pada kepercayaan lama
(dewa-dewi,roh
halus, atau kekuatan gaib).
Contoh : nyi roro kidul, jaka tarub.
4.   Fabel
Cerita yang diperankan binatang yang memiliki watak dan budi manusia.
Contoh : kancil yang cerdik, hikayat kalila.
5.   Parable
Cerita yang tokohnya binatang dan manusia
Contoh : anjing yang loba, kancil dan pak tani.
6.   Cerita jenaka
Cerita yang berisi kisah lucu/jenaka.
Contoh : cerita pak kadok, cerita lebai malang.
Penginderaan Pada Puisi Pengionderaan atau pengimajian pada puisi adalah usaha pengaturan dan penyusunan kata sehingga makna abstrak menjadi jelas dan konkret (yang dibicarakan penulis dapat tampak, terdengar, dan terassa oleh(pembaca/pendengar)
Contoh-contoh imajinasi :
Ć°  Visual (indera mata)
Ć°  Audiovisual (indera pendengaran)
Ć°  Gustatorial (indera perasa)
Ć°  Tactual (indera kulit)
Ć°  Kinaestetik (gerak tubuh)
Ć°  Organic (perasaan badan)
Ć°  Olfaktorial (indera penciuman)
Ć°  Altikut ularial (mulut)
Cerita Pendek Berdasarkan Kehodupan Pribadi Penglaman hidup manusia dibagi menjadi 2 :
1.    Subjektif
Pengalaman yang dialami diri sendiri dan secara langsung oleh ubyak bersangkutan.
2.   Obyektif
Pengalaman yang kita tangkap/peroleh dari orang lain baik melalui perjumpaan, maupun kegiatan membaca pengalaman orang lain.
Unsur pembentuk cerita pendek :
a. Unsur instrinsik
Hal-hal dlam sebuah karya sastra. Contoh : tema, latar, setting, alur, dll)
b.Unsure ekstrinsik
Hal-hal diluar karya sastra, tapi sangat menentukan karya tersebut.
Contoh : nama pengarang, biografi pengarang, cover buku, ketebalan buku, dll.


B.     CERITA PANJI
Yang disebut cerita Panji ialah hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa. Cerita Panji berpokok pada empat kerajaan yang terdapat di Pulau Jawa, yaitu kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan, dan ingosari yang mungkin asama dengan yang disebut kerajaan Kahuripan Daha, Gegelang, dan Singosari.
Beberapa contoh cerita Panji:
1. Hikayat Panji Semirang
2. Hikayat Dalang Indra Kusuma
3. Hikayat Panji Jayang Tilam.
Cerita Panji telah tersebar dari Jawa Timur sampai ke Kamboja melalui Bali, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Siam. Di daerah bali juga ada satu cerita Panji yang terkenal,yaitu tentang perjlanan Raden Wiranatajaya yang disebut dalam cerita Malat.

C.    CERITA YANG BERSUMBER DARI RAMAYANA,MAHABRATA,DAN PANCATRATA
Ramayana (dari bahasa Sanskerta: ą¤°ाą¤®ाą¤Æą¤£, RāmĆ¢yaį¹‡a; yang berasal dari kata Rāma dan Ayaį¹‡a yang berarti "Perjalanan Rama") adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata.
Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini.
Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna.
Di India dalam bahasa Sanskerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab atau kanda sebagai berikut:
  1. Balakanda
  2. Ayodhyakanda
  3. Aranyakanda
  4. Kiskindhakanda
  5. Sundarakanda
  6. Yuddhakanda
  7. Uttarakanda
Beberapa babak maupun adegan dalam Ramayana dituangkan ke dalam bentuk lukisan maupun pahatan dalam arsitektur bernuansa Hindu. Wiracarita Ramayana juga diangkat ke dalam budaya pewayangan di Nusantara, seperti misalnya di Jawa dan Bali. Selain itu di beberapa negara (seperti misalnya Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, Philipina, dan lain-lain), Wiracarita Ramayana diangkat sebagai pertunjukan kesenian.
Mahabharata  adalah sebuah karya sastra kuno yang konon ditulis oleh Begawan Byasa atau Vyasa dari India. Buku ini terdiri dari delapan belas kitab, maka dinamakan Astadasaparwa (asta = 8, dasa = 10, parwa = kitab). Namun, ada pula yang meyakini bahwa kisah ini sesungguhnya merupakan kumpulan dari banyak cerita yang semula terpencar-pencar, yang dikumpulkan semenjak abad ke-4 sebelum Masehi. Secara singkat, Mahabharata menceritakan kisah konflik para Pandawa lima dengan
saudara sepupu mereka sang seratus Korawa, mengenai sengketa hak pemerintahan tanah negara Astina. Puncaknya adalah perang Bharatayuddha di medan Kurusetra dan pertempuran berlangsung selama delapan belas hari. Selain berisi cerita kepahlawanan (wiracarita), Mahabharata juga mengandung nilai-nilai Hindu, mitologi dan berbagai petunjuk lainnya. Oleh sebab itu kisah Mahabharata ini dianggap suci, teristimewa oleh pemeluk agama Hindu.
Kisah yang semula ditulis dalam bahasa Sansekerta ini kemudian disalin dalam berbagai bahasa, terutama mengikuti perkembangan peradaban Hindu pada masa lampau di Asia, termasuk di Asia Tenggara. Di Indonesia, salinan berbagai bagian dari Mahabharata, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa bahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi. Yakni pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kadiri.
Karena sifatnya itu, bentuk prosa ini dikenal juga sebagai sastra parwa. Yang terlebih populer dalam masa-masa kemudian adalah penggubahan cerita itu dalam bentuk kakawin, yakni puisi lawas dengan metrum India berbahasa Jawa Kuno. Salah satu yang terkenal ialah kakawin Arjunawiwaha (Arjunawiwaha, perkawinan Arjuna) gubahan mpu Kanwa. Karya yang diduga ditulis antara 1028-1035 M. dipersembahkan untuk raja Airlangga dari kerajaan Medang Kamulan, menantu raja Dharmawangsa.

D.    CERITA YANG BERSUMBER DARI AJARAN ISLAM 
Sastra jaman islam adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk dalam masa ini adalah ; Hikayat Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang Buana, dsb. Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang harus dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dsb.
-Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya bertalian dengan perkembangan Islam di dunia. Pada tahun 1198 M. Gujarat ditaklukkan oleh Islam. Melalui Perdagangan oleh bangsa Gujarat, Islam berkembang jauh sampai ke wilayah Nusantara. Pada permulaan abad ke-13 Islam berkembang pesat di Nusantara.-
-Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu menjadi wilayah jajahan bangsa-bangsa Eropa yang pada mulanya datang ke Nusantara karena mau memiliki rempah-rempah.












BAB IV
PERIODISASI SASTRA INDONESIA MODERN

A.    VERSI  AYIT ROSIDI
Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan.
A.    Masa Kelahiran
1.      Periode awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1933
2.      Periode 1933 s.d. 1942
3.      Periode 1942 s.d. 1945
B.     Masa Perkembangan
1.      Periode 1945 -  1953
2.      Periode 1953  - 1960
3.      Periode 1960  -  sekarang
B.     VERSI HB  JASSIN
Menurut HB. Jassin
Periodisasi Sastra

Pengertian:
penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Periodisasi Sastra
Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
HB. Jassin
Ajip Rosidi
A. Teeuw
Rahmat Djoko Pradopo
Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
HB. Jassin , kritikus Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
Sastra Melayu Lama
Sastra Indonesia Modern
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan ’45
Angkatan ‘66
Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
Masih menggunakan bahasa Melayu
Umumnya bersifat anonim
Berciri istanasentris
Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
Sastra Melayu Lama
Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
Cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak mengubah naskah apabila dipandang perlu.
Contoh hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
Angkatan Balai Pustaka
Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
Roman
Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
Muda Teruna (M. Kasim)
Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
Kumpulan Puisi
Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
Puspa Aneka (Yogi)
Angkatan ‘45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
Terbuka
Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
Corak isi lebih realis, naturalis
Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
Penghematan kata dalam karya
Ekspresif
Sinisme dan sarkasme
Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
Angkatan ‘45
Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
Tandus (S. Rukiah)
Puntung Berasap (Usmar Ismail)
Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lainnya.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
Bercorak membela keadilan
Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
Berontak
Pembelaan terhadap Pancasila
Protes sosial dan politik
Angkatan ‘66
Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Putu Wijaya
Pabrik
Telegram
Stasiun
Iwan Simatupang
Ziarah
Kering
Merahnya Merah
Djamil Suherman
Sarip Tambak-Oso
Perjalanan ke Akhirat
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok “Seni untuk Seni”
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
Angkatan Pujangga Baru
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
Sudah menggunakan bahasa Indonesia
Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Angkatan Pujangga Baru
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Angkatan Pujangga Baru
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:
Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Angkatan Pujangga Baru
Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.
Sanusi Pane , pengarang puisi “ Dalam Gelombang”
Angkatan Pujangga Baru
Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.
Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.
Angkatan Pujangga Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.

… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang Oleh Sanusi Pane
Angkatan Pujangga Baru
Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .
Sastrawan dan Hasil Karya
Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:
Sultan Takdir Alisjahbana
Contoh: Di Kakimu, Bertemu
Sutomo Djauhar Arifin
Contoh: Andang Teruna (fragmen)
Rustam Effendi
Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
Asmoro Hadi
Contoh: Rindu, Hidup Baru
Hamidah
Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
Sastrawan dan Hasil Karya
Amir Hamzah
Contoh: Sunyi, Dalam Matamu
Hasjmy
Contoh: Ladang Petani, Sawah
Lalanang
Contoh: Bunga Jelita
O.R. Mandank
Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam
Mozasa
Contoh: Amanat, Kupu-kupu
Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu. Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.
Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkangaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru. Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua: (1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir. (2) menolak segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu (i) kebudayaan bangsa harus ditentukan bukan oleh Timur—Barat, melainkan oleh diri sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” (ii) bentuk pengucapan dalam puisi tidak perlu lagi dengan bahasa yang mendayu-dayu dan berbunga-bunga, tetapi dengan bahasa sehari-hari yang lugas dan langsung. Chairil Anwar yang menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat dalam peta puisiIndonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode berikutnya.
Dalam bidang prosa –novel dan cerpen—pengalaman pahit zaman Jepang dan trauma kegetiran perang kemerdekaan (1945—1949) telah menjadi sumber ilham bagi prosais Indonesia. Maka, Idrus mengangkat kegetiran pada zaman Jepang, Pramoedya Ananta Toer mengeksplorasi pengalamannya semasa menjadi gerilyawan dan berjuang melawan tentara Belanda. Demikian juga Mochtar Lubis, Balfas, Toha Mohtar, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusasto, dan beberapa novelis Indonesia lainnya yang dibesarkan dalam gejolak revolusi, mengangkat pengalaman perang sebagai tragedi kemanusiaan yang amat getir, dan di pihak lain digunakan juga sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan.
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesiaberada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965. Masa suram kesusastraan Indonesia dan umumnya kehidupan kebudayaan Indonesia terjadi pada paroh pertama dasawarsa tahun 1960-an (1961—1965). Ketika itu, slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Kesusastraan dan kebudayaan kemudian digunakan sebagai alat perjuangan politik. Pro dan kontra pun terjadi. Terbelahlah sastrawan Indonesia ke dalam beberapa kubu yang mengerucut menjadi dua kubu besar, yaitu golongan sastrawan yang mengusung semangat humanisme universal dan golongan sastrawan yang mengusung sastra dan kebudayaan sebagai alat perjuangan politik dengan penekanan pada sastra yang berpihak pada rakyat. Kelompok pertama mendeklarasikan sikapnya melalui apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan kelompok kedua tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berporos pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kehidupan kesusastraan dan kebudayaan dalam masa lima tahun itu benar-benar memasuki situasi yang buruk. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi pertentangan fisik dan serangkaian teror. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno menandai tersingkirnya kelompok Manifes dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaan, meskipun mereka terus bergerak melakukan perlawanan.
Pecahnya peristiwa 30 September 1965 yang memicu gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa sekaligus menghancurkan dominasi PKI dalam kehidupan politik nasional. Lekra sebagai underbouw PKI tentu saja ikut menjadi korban. Kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan seperti keluar dari lubang kematian. Mereka kemudian mengusung karya-karya protes. Taufiq Ismail sebagai tokoh kunci gerakan ini menyuarakan semangat perlawanannya melalui puisi. Penyair lain, seperti Bur Rasuanto, Slamet Sukirnanto, Wahid Situmeang, adalah beberapa sastrawan yang ikut menyuarakan semangat perlawanan itu. H.B. Jassin kemudian menyebut gerakan para sastrawan itu sebagai Angkatan 66.
Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa itu berhasil mencapai perjuangannya dengan pembubaran PKI dan kemudian berdampak pada kejatuhan Presiden Soekarno. Praktis PKI beserta para pendukungnya, berada dalam posisi sebagai pecundang. Kalah dalam perjuangan politiknya. Dan Pemerintah yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru melakukan pembersihan. Sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah. Mereka ditangkap, dipenjara, dan tokoh-tokoh pentingnya dibuang ke Pulau Buru.
Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. Kehidupan kebudayaan harus dipisahkan dari kehidupan politik. Tak ada tempat lagi bagi politik untuk masuk dan mengganggu kehidupan kesusastraan. Anggapan bahwa muatan politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia ketika politik dianggap tidak berhak lagi memasuki wilayah kesenian dan kesusastraan.
Selepas tahun 1965 dan terutama memasuki pertengahan dasawarsa 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh saluran kebebasan yang lebih luas. Di pihak lain, mereka menolak campur tangan politik. Maka, usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian pada tradisi, pada sumber kekayaan khazanah kesusastraan sendiri. Di sinilah, kisah-kisah dunia jungkir-balik dalam dongeng-dongeng rakyat menjadi salah satu sumber kreativitas mereka. Selain itu, unsur-unsur mistik Islam—Jawa, sufisme, dan khazanah puisi rakyat, disadari sebagai kekayaan tradisi yang dapat dikemas atau diselusupkan ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berhasil memanfaatkan mantera untuk kepentingan estetika puisinya yang mengandalkan kemerduan bunyi. Melalui kredonya yang menolak makna dalam kata, Sutardji menjadi salah satu tokoh kunci penyair Indonesia dasawarsa itu. Arifin C. Noer –dalam drama—berhasil pula memanfaatkan dongeng-dongeng dan teater rakyat, seperti ketoprak dan tanjidor, menjadi unsur penting dalam dramanya. Sementara itu, Kuntowijoyo yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi kejawen, tetapi menyerap juga pengaruh tasawuf dan filsafat Barat (eksistensialisme), berhasil melahirkan sebuah novel, Khotbah di Atas Bukit, yang memperlihatkan percampuran pengaruh-pengaruh itu.
Dasawarsa 1970-an –yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70-an— adalah masa berlahirannya karya-karya eksperimentasi. Iwan Simatupang lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Kooong, tampil sebagai salah seorang maestro novel kontemporer Indonesia. Sejumlah nama lain, tentu saja masih panjang berderet. Tetapi secara umum, mereka mempunyai semangat yang sama, yaitu “kembali ke akar, kembali ke sumber.” Memasuki dasawarsa 1980-an sampai pertengahan 1990-an, kesusastraan Indonesia seperti bergulir tanpa gejolak menghebohkan, tanpa hiruk-pikuk. Sejumlah karya memang masih tetap lahir dengan daya kejut yang cukup kuat. Ahmad Tohari lewat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyadarkan kita akan dunia wong cilik dan orang-orang yang terpinggirkan. Umar Kayam dalam Para Priyayi mengukuhkan kekayaan kultur Jawa. Kejutan lain muncul ketika Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel yang dikatakannya sebagai novel Pulau Buru itu konon ditulis Pram saat ia berada dalam tahanan di Pulau Buru.
Kejutan lain yang juga penting terjadi menjelang berakhir abad ke-20. Ayu Utami melalui novelnya, Saman (1998) mengejutkan banyak pihak terutama keberaniannya dalam mengungkapkan persoalan seks. Selepas itu, bermunculan sastrawan wanita yang dalam beberapa hal justru lebih berani dibandingkan Ayu Utami. Sebutlah misalnya, Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet! 2003, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) 2004), Maya Wulan (Swastika, 2004).
Jauh sebelum Ayu Utami, sejumlah sastrawan wanita sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang cukup penting, seperti Nh Dini, Titis Basino, Marianne Katoppo, Leila Chudori, Ratna Indraswari, Abidah El-Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, atau Dorothea Rosa Herliani. Meskipun begitu, kemunculannya makin semarak justru selepas Ayu Utami itu. Boleh jadi, kondisi itu dimungkinkan oleh runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang ketika itu banyak melakukan represi. Maka, begitu ada saluran pembebasan, berlahiranlah pengarang-pengarang wanita dengan keberanian dan kekuatannya masing-masing. Tercatat, beberapa di antaranya, Fira Basuki, Anggie D. Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani Sekarningsih, Ratih Kumala, Asma Nadia, Nukila Amal dan Dewi Sartika.
Yang menarik dari sejumlah karya yang ditulis para pengarang wanita ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang problem rumah tangga –suami-istri, melainkan problem seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya, seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat dunia.






























BAB V
SASTRA INDONESIA 1942-1945

A.    SASTRA INDONESIA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda agar jangan resmi menjadi bahasa persatuan, oleh orang Jepang bahasa Indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh kepulauan.Dengan makin intensifnya penggunaan bahasa Indonesia di kepulauan Nusantara, sastra Indonesia pun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.
Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak, cerpen, dan sandiwara. Sedangkan roman kurang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.
Pada masa inilah bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi Indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Khairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan. periode 1942-1945 atau zaman pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, peralihan, dan kegelisahan. Periode merupakan periode yang produktif. Hal ini ditandai pula dengan munculnya tema-tema romantis-realistis. Sastrawan pada masa ini adalah sebagai berikut:
1.   Dr. Abu Hanifah (El Hakim), karyanya Taufan di Atas Asia, Dewi Reni, dan lnsan Kamil.
2.   Usmar Ismail, karyanya Citra, Libwan Seniman, dan Mutiara di Nusa laut. Idrus, karyanya Jinak-jinak Merpati, Barang Tiada berharga, dan Antara Bumi dan Langit.
selain itu, karya sastra periode 1942(zaman Jepang) dapat dibedakan atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah karya sastra dan pengarangnya yang resmi berada di bawah naungan Pusat Kebudayaan Jepang. Mereka menulis sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh Pusat Kebudayaan Jepang, kelompok kedua adalah kelompok yang tidak mau berkompromi dengan Pusat Kebudayaan Jepang. Akan tetapi, mereka mencari jalan baru untuk mengatakan sesuatu. Cara yang mereka lakukan diupayakan tidak berbahaya, tetapi cita-cita terlaksana. Melalui cara ini, banyak karya sastra yang bersifat simbolik.
Pengarang-pengarang dan karya-karyanya yang timbul pada masa Jepang ini adalah:
1.   Usmar Ismail karyanya Kita Berjuang, Diserang Rasa Merdeka, Api, Citra, dan Liburan Seniman;
2.   Rosihan Anwar karyanya berupa puisi yang berjudul Lukisan kepada Prajurit;
3.   Maria Amin karyanya Tinjaulah Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga, dan Penuh Rahasia, sedangkan pada tahun 1945, pada masa ini, Indonesia sudah merdeka sehingga tidak bergantung lagi kepada bangsa lain.
Situasi ini tentunya berpengaruh terhadap perkembangan karya sastra pada masa itu. Pengarang yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia merdeka pada waktu itu adalah Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Usmar Ismail dan lain-lain. Rosihan Anwar memberikan nama kepada mereka sebagai pengarang Angkatan ‘45. Penamaan ini dimuat dalam majalah Siasat. Sastrawan yang menjadi pelopor dalam bidang puisi pada periode ini ialah Chairil Anwar. Adapun pelopor dalam bidang prosa adalah Idrus. Karya sastra Angkatan ‘45 mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita. Pujangga yang karyanya menjadi penghubung dalam masa ini adalah Armijn Pane dan El Hakim. Karya-karya Angkatan ‘45 dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan dunia, misalnya Rusia, Italia, Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan ‘45, di antaranya:
1.      Chairil Anwar karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu;
2.      Idrus karyanya Surabaya dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma;
3.      Asrul Sani karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu; Museum; Perumahan bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza, Beri Aku Rumah, Surat dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu;
4.      Usmar Ismail karyanya Permintaan Terakhir (cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung Berasap (kumpulan sajak), Sedih dan Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa Laut (drama), Tempat yang Kosong, Mekar Melati, Pesanku (sandiwara radio), dan Ayahku Pulang (sandiwara saduran).
Angkatan 45 merupakan istilah pemberian Rosohan Anwar.
Selain nama tersebut terdapat nama lain, yaitu :
1.  Angkatan Chairil Anwar
2.  Angkatan Jepang
3.  Angkatan Pembebasan
Pelopor angkatan 45 adalah :
1.  Puisi : Chairil Anwar
2.  Prosa : Idrus
3.  Drama : Usmar Ismail
Ciri-ciri angkatan 45 :
1.  Mementingkan isi daripada bentuk
2.  Pengaruh pujangga dunia (Rusia, Itali, Belanda, Prancis)
3. Pandangan humanisme liberal
4. Bercorak realistis
5. Modern, munculnya karya sastra modern pendobrak

B.       SASTRA  INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN
Karya sastra Angkatan ‘45 mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya bentuknya agak bebas dan isinya menampilkan suatu realita. Pujangga yang karyanya menjadi penghubung dalam masa ini adalah Armijn Pane dan El Hakim.
Karya-karya Angkatan ‘45 dipengaruhi pujangga-pujangga Belanda dan dunia, misalnya Rusia, Italia, Prancis, dan Amerika. Karya sastra dan pengarang Angkatan ‘45, di antaranya:
1.      Chairil Anwar karyanya Kerikil Tajam, dan Deru Campur Debu;
2.      Idrus karyanya Surabaya dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma;
3.      Asrul Sani karyanya Tiga Menguak Takdir, bentuk cerpennya: Panen, Bola Lampu; Museum; Perumahan bagi Fadrija Navari, Si Penyair Belum Pulang, Sahabat Saya Cordiza, Beri Aku Rumah, Surat dari Ibu, Elang Laut, dan Orang dalam Perahu;
4.      Usmar Ismail karyanya Permintaan Terakhir (cerpen), Asoka Mala Dewi (cerpen), Puntung Berasap (kumpulan sajak), Sedih dan Gembira (kumpulan drama), Mutiara dari Nusa Laut (drama), Tempat yang Kosong, Mekar Melati, Pesanku (sandiwara radio), dan Ayahku Pulang (sandiwara saduran).
Angkatan 45 merupakan istilah pemberian Rosohan Anwar.
Selain nama tersebut terdapat nama lain, yaitu :
1.  Angkatan Chairil Anwar
2.  Angkatan Jepang
3.  Angkatan Pembebasan
Pelopor angkatan 45 adalah :
1. Puisi : Chairil Anwar
2. Prosa : Idrus
3. Drama : Usmar Ismail
Ciri-ciri angkatan 45 :
1. Mementingkan isi daripada bentuk
2. Pengaruh pujangga dunia (Rusia, Itali, Belanda, Prancis)
3. Pandangan humanisme liberal
4. Bercorak realistis
5. Modern, munculnya karya sastra modern pendobrak
Pada masa periode 1942 – 1945 yaitu penyair dan pengarang yang karya nya terbit tentang perkembangan sastra Indonesia yaitu sebagai berikut :
1.   Anas Ma’ruf, Bukittinggi 27 oktober 1922. Pada jaman sesudah perang terkenal sebagai organisator kebahasaan dan penterjemah.
2.   H.B. Jassin (Gorontalo, 31 juli 1922) yang telah menulis cerpen _Anak Laut_. Cerpen itu mungkin bukan cerpen Jassin yang petama, tapi jelas merupakan cerpennya yang terakhir. Sebelum perang Jassin menulis
cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib Volontaire “ (1941).
3.   Bakri Siregar (Langsa /Aceh, 1922). Cerpennya yang pertama berjudul  Ditepi Kawah. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul _Jejak Langkah_ (1953).
Perlu diingat bahwa selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu.
Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru.



























BAB VI
SASTRA INDONESIA 1953-1961
A.    KRISIS SASTRA INDONESIA
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.
Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.
Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.
Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.
B.     Sastra Majalah
Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.
Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.
Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955, Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia. Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.
Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50 ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.
Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.
Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.
Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.
C.    Beberapa Pengarang
1.   Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian Brigader Jenderal.
Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyalami situasi jamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.
2.   Navis
Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan ‘45. Ia lahir di Padangpanjang 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.
Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.
Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.
3.   Trisnoyuwono
Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),
Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.
Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.
4.   Iwan Simatupang
Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya, tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa. Drama absurd Eugene Ionesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT Nol/RW Nol’.
Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.
Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.
5.   Toha Mohtar
Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.
Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).
6.   Subagio Sastrowardojo
Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.


7.   Motinggo Boesje
Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937. Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T. Sontani.
Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.
Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.
Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengungkapkan suatu persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.
D.    Para Pengarang Lain
1.      Rijono Pratikto (lahir di tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan” seperti ‘Gua (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.
2.      SM. Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).
3.      Sukanto SA. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).
4.      Alex A.xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (=cerita sindiran) tentang ‘kisah-kisah dari negeri Kambing’. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga’.
5.      Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934). Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya
E.      Penyair
      Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951. Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956. Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.
F.  Tentang Kemerdekaan
dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.
Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan ; Aku makin menjauh/dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah langit remaja biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan).
Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata : “Ya Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.
Dalam sajaknya ‘Pahlawan tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa. Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway dan lain-lain.

G. WS. RENDRA
Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.
Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.
Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.
Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’ dan sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.
Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.
G.    RAMADHAN KH
Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru tampi namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia lorca ke dalam bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.
Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi.


DENDANG SAYANG
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih
Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.
I.       KIRDJOMULJO
Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan W.S. Rendra berjudul ‘Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya ‘Penggali Intan’ (1957).
Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.
BEBERAPA PENYAIR LAINNYA
Hartojo Andangdjaya (1930), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), A.D. Donggo (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939), Mansur Samin (1930), dan lain-ain.
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.
SONNET BUAT IKA
Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.
tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah, Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(dari Gelanggang/siasat 1945)
M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.

SENJA DI TANAH ABANG
Untuk Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam

Di gerbong kosong, dengkul jembatan
aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan

Lusuh kaki masih menghadap daki
Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(dari Zenit, 1953)

Odeh Suardi (lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930) menulis sajak-sajak yang diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak dalam majalah-majalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan lain-lain.
Sugiarta Sriwibawa (lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932) menulis sajak-sajak yang berat karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam kumpulan berjudul Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit. Sugiarta banyak penulis cerpen dengan gayanya yang lirikal dan puitis, juga menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di samping menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.
Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).

MENGAPA HARUS GELISAH
Mengapa harus gelisah, saudara
mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan
Bencana tetap berulang. Saudara
bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah

Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)

Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara
tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut

Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara
sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan

Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara
kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu

Siapa jadinya yang salah, saudara
siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(dari Horison, 1966)
Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939) menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.

IBU
teduh tanjung wangi jadi pusat rindu
teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya
tapi ibu sebelum aku pergi memperingati
jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal

(dari Siasat Baru, 1959).
Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang tersisih (1964)

5. Drama
Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.
Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang Sketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.

NASJAH DJAMIN
Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai penulis.
Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul/Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya) ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Dibawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang hidup Bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.
Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul ‘Helai-helai Sakura Gugur’ (1964), Gairah Untuk hidup dan untuk mati (1968) dan Malam Kualalumpur (1968).

H.M. JUSA BIRAN
Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi Ke Ibukota”.
Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya, keseluruhannya komidi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya homur yang hidup.
Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul ‘Setelah jam Menjelang Maut’ (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita Film yang juga telah dibuatnya sendiri.

b. Para Pengarang Wanita
*      N.H. DINI
N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)
Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.
Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.
Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul la Barka.
Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja.

J .SASTRA INDONESIA MENJELANG DAN SESUDAH KUDETA
Sejak sebelum kemerdekaan, sastra Indonesia sudah mengenal novel-novel berlatar sejarah, seperti Suropati dan Robert Anak Suropati karya Abdul Muis serta Hulu Balang Raja karya Nur Sutan Iskandar. Pada era kemerdekaan, karya sastra berlatar sejarah umumnya mengambil peristiwa sejarah perang kemerdekaan sampai setelah tahun 1949-an. Pada tahun 1980-1990-an muncul karya-karya prosa Indonesia berlatar sejarah pula, antara lain Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar karya YB. Mangunwijaya, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, serta Para Priyayi karya Umar Kayam. Selain Burung-Burung Manyar dan Para Priyayi, pada umumnya karya-karya tersebut menggunakan latar waktu sezaman. Jika tetralogi Pulau Buru dan Burung-Burung Manyar ditempatkan dalam sejarah bangsa, ada waktu yang “kosong” beberapa periode karena tetralogi Pulau Buru hanya mengungkap era kolonialisme Belanda dan Burung-Burung Manyar (meskipun merentang periode 1943-1979) tidak mengungkap masa Orde Lama dan Orde Baru. Kekosongan itu terisi oleh terbitnya Para Priyayi yang mengungkap periode waktu tahun 1930-1967 (Mahayana, 2007;278-279) sehingga menggambaran perjalanan “sejarah bangsa” yang relatif lengkap. Tiga tahun terakhir ini dunia sastra Indonesia juga diramaikan oleh munculnya novel-novel bertemakan sejarah dengan setting waktu yang lebih lampau, seperti serial Gajah Mada oleh Langit Kresna Hariadi, Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit karya Hermawan Aksan, Pangeran Diponegoro karya Remy Silado, Rahasia Meede; Misteri Harta Karun VOC karya E.S.Ito, dan Pelangi di Atas Glagahwangi karya S.Tidjab.
Maraknya novel-novel bertemakan sejarah tersebut mengundang diskusi yang menarik di kalangan pengamat atau pelaku sastra dan sejarawan berkaitan dengan hubungan antara sastra dan sejarah. Kuntowijoyo (1987;127) mengemukakan bahwa objek karya sastra adalah realitas (apapun yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang). Jika realitas yang dijadikan sebagai objeknya adalah peristiwa sejarah, karya sastra dapat: (1) mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarangnya; (2) menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan perasaan, pikiran, dan tanggapannya mengenai suatu peristiwa sejarah; dan (3) merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarangnya, seperti halnya dengan karya sejarah. Ketiga hal itu menunjukkan peran karya sastra sebagai simbol verbal, yaitu sebagai cara pemahaman (mode of conprehension), cara perhubungan (mode of communication), dan cara penciptaan (mode of creation). Ketiga peranan simbol tersebut dapat menjadi satu karena perbedaan-perbedaannya lebih merupakan asumsi teoretis yang sulit dipilah-pilah dalam penciptaan suatu karya sastra. Campur tangan dan motivasi pengarang yang membedakannya. Dalam karya sastra yang diciptakan sebagai cara pemahaman, kadar peristiwa sejarah sebagai aktualitas atau kadar faktisitasnya akan lebih tinggi daripada kadar imajinasi pengarang, sedangkan dalam karya sastera sebagai cara penciptaan kadar faktisitasnya lebih rendah daripada imajinasi pengarang. Dalam karya sastra sebagai cara perhubungan, faktisitas dan imajinasi pengarang sama kadarnya.
Dalam konteks diskusi sastra dan sejarah itulah, perlu dibicarakan novel-novel karya pengarang dwibahasawan dari Surabaya, Suparto Brata, yang hampir selalu menggunakan peristiwa sejarah sebagai objek atau latarnya, tetapi selama ini nyaris luput dari perhatian para pengamat sastra. Suiparto Brata memiliki perhatian yang besar pada sejarah, khususnya pada peristiwa sejarah yang terjadi di Kota Surabaya, seperti peristiwa pertempuran 10 November 1945. Dalam novel November Merah (1984), yang diindonesiakan dari cerita bersambung “NOVEMBER ABANG” (terbit pertama kali di majalah Jaya Baya tanggal 7 September – 16 Oktober 1965) dan MENCARI SARANG ANGIN (2005a) Suparto Brata mengungkap perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran heroik tersebut. Untuk “meyakinkan” pembaca, dia tampaknya merasa tidak cukup hanya menghadirkan tokoh-tokoh sejarah, seperti Bung Tomo, Gubernur Suryo, Dokter Sugiri, Bung Karno, Jenderal Mallaby dalam November Merah (1984) sehingga melengkapinya dengan foto-foto dari buku sejarah resmi, seperti foto peristiwa perobekan bendera Belanda di atap Hotel Oranje/Yamato Jalan Tunjungan. Dalam novel ini, batas antara nonfiksi dan fiksi dibaurkan sedemikian rupa. Perhatiannya terhadap pertempuran 10 November 1945 tidak lepas dari penghayatannya atas peristiwa tersebut dalam korelasinya dengan sejarah bangsa yaitu bahwa tanpa ada pertempuran 10 November 1945 tidak akan ada Perang Kemerdekaan Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dicapai melalui perundingan atau diplomasi, bukan dengan perang, sehingga terkesan sebagai hadiah dari Ratu Belanda (Brata, 2007b;15). Pandangan ini sejalan dengan tulisan Ricklefs (2005;438) yang mencatat bahwa Pertempuran 10 November merupakan titik balik bagi Belanda yang selalu menganggap bahwa kemerdekaan hanyalah keinginan segelintir elit tanpa dukungan rakyat. Peristiwa itu merupakan lambang pengorbanan dan persatuan rakyat demi kemerdekaan.
Jika beberapa sejarawan mulai melirik novel-novelnya sebagai bahan studi sejarah (novel SAKSI MATA, SURABAYA TUMPAH DARAHKU, NOVEMBER MERAH menjadi sumber sekunder studi sejarah Els Bogaerts dari NIOD [Nederlands Instituut voor Oorlogdocumentatie], dan novel MENCARI SARANG ANGIN, SURABAYA TUMPAH DARAHKU serta KREMIL menjadi sumber pelengkap penyusunan buku sejarah Orang-Orang Ambon di Surabaya, 1930-1945), sudah selayaknya pemerhati sastra menangkapnya sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang berharga dalam novel-novelnya yang patut dibicarakan dengan perspektif sastra. Jika Mahayana (2007;278-279) merangkai “sejarah perjalanan bangsa” yang “lengkap” harus melalui karya tiga pengarang, dalam karya-karya Suparto Brata sudah dapat dilihat lintasan sejarah Indoneis yang relatip “lengkap”, yaitu dalam novel sala lelimengan/sl (1965), surabaya tumpah darahku/std (1978), november merah/nm (1984), kremil/k (2002), saksi mata/sm (2002), donyane wong culika/dwc (2004), gadis tangsi/gt (2004), mencari sarang angin/msa (2005), kerajaan raminem/kr (2006), dom sumurup ing banyu/dsib (2006), dan mahligai di ufuk timur/mdut (2007).


DAFTAR PUSTAKA

Tabrani Ahmad, 2001 TEORI SASTRA, UNIVERSITAS ISLAM MALANG

Internet:
Blogspot.com
m.wikipedia.org
mbahbrata.wordpress.com
id.shvoong.com
endonesa.wordpress.com



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teori Persepsi

Serba-serbi Bis part 1

PERJALANAN JODOH, tentang apa yang diusahakan